Senin, 07 Maret 2011

MASALAH & SOLUSI STRATEGI DAS BRANTAS

1. Masalah DAS yang ditetapkan setelah kunjungan lapang
DAS Brantas bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS Brantas khususnya kawasan lindung (Perum Perhutani, TNBTS dan Tahura Suryo) seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya.
Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.
Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.
2. Stakeholder yang terkena dampak dan berbagai dampak yang disebabkan
Instansi yang terkena dampak bukan hanya instansi yang tidak menggunakan air secara non komersial, namun juga termasuk yang menggunakannya secara komersial. Misalnya saja dari perusahaan jasa tirta, perusahaan air minum serta perusahaan-perusahaan lain yang juga mempunyai kepentingan dengan air sehat. Instansi / stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola SDA atau penyedia air yang mempunyai nilai komersil baik untuk kebutuhan Perusahaan Listrik Negara (PLN) serta Perusahaan Air Minum (PAM) maupun industri yang berskala besar adalah Perusahaan Jasa Tirta (PJT) yang penyalurannya berasal dari waduk. Sedangkan stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola sumber mata air di kawasan hulu yang bersifat non komersil terutama untuk pemanfaatan perkebunan, irigasi persawahan, peternakan maupun rumah tangga adalah para pengelola kawasan. Pola pengelolaan sumber daya air menurut UU no 7 merupakan dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian kerusakan SDA. Sehingga pola ini perlu disusun secara terkoordinasi diantara instansi-instansi yang terkait berdasarkan azas kelestarian, keseimbangan fungsi sosial – ekonomi – lingkungan serta azas manfaat umum dan melibatkan peran masyarakat yang selanjutnya dituangkan dalam rencana penyusunan program pengelolaan sumberdaya air Ada 2 macam pemanfaatan air yaitu : pemanfaatan air komersial dan pemanfaatan air non komersial ( Nurfatriani, 2006 ).
Para pengelola kawasan lindung (Perum Perhutani, TNBTS dan Tahura Suryo) selayaknya menerima konpensasi dari para pemanfaat air dari hulu sampai ke hilir, karena selaku pengelola kawasan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas air. Berapa manfaat yang harus diterima oleh pengelola kawasan dapat diketahui dengan menghitung berapa potensi debit air yang dapat diproduksi dari masing-masing kawasan dengan nilai eksternal berupa nilai dampak terhadap lingkungan yang harus dikembalikan ke hulu. Berdasarkan hasil analisa dengan Citra Landsat pada masing-masing Sub DAS dan Sub-sub DAS menunjukkan bahwa sebagai pengelola kawasan dibagian hulu dari ketiga stakeholder terkait yang berpotensi dapat menghasilkan air antara lain Perum Perhutani (KPH Malang) dengan luas areal 5.274,72 ha , 2 975,94 ha untuk kawasan TNBTS dan 6 224,85 ha untuk kawasan Tahura Suryo. Sedangkan rata-rata potensi produksi air yang dapat dihasilkan selama 3 tahun pengamatan adalah 73,37 juta m3 untuk Perum perhutani, 41,48 juta m3 untuk TNBTS dan 83,88 juta m3 untuk Tahura Suryo (Kirsfianti 2006).
3. Program solusi yang dilakukan oleh stakeholder terkait
Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
PJT I Malang telah melakukan Program Pembayaran Jasa Lingkungan dalam upaya pengembangan hubungan hulu hilir bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Pedesaan. Pemanfaatan air non komersial di kawasan hulu DAS Brantas digunakan untuk pertanian yang berada di bawah pengelolaan Tahura Suryo. Pengusaha pertanian yang menggunakan sumber mata air melalui pipa-pipia paralon dan tendon-tandon antara lain : pengusaha bunga, pengusaha jamur dan pengusaha peternakan ayam. Penghijauan dan reboisasi yang dilakukan oleh para pengusaha disekitar kawasannya bekerjasama dengan instansi kehutanan dan LSM Lingkungan ESP USAID dalam rangka melestarikan kawasan disekitar sumber mata air. Sedangkan pemanfaatan air oleh masyarakat / petani dikawasan hulu DAS Brantas dibawah pengelolaan TNBTS terutama untuk petani sayuran dan kebutuhan untuk air minum dan MCK. Pemanfaatan lahan ini untuk pertanian tidak lepas dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola kawasan, karena topografi lokasi sangat rentan akan erosi. Sehingga diperlukan kesepakan untuk kepentingan masing-masing dimana masyarakat membutuhkan sumber mata air dan pengelola perlu kelestarian lahan. Kesepakatan dilakukan melalui kegiatan penanaman jalur hijau ( green belt ). (Dinas Kehutanan Jatim, 2006)
Disamping itu LSM lingkungan dari ESP USAID yang ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan Daerah Aliran Sungai Brantas juga memberikan berbagai program alternative dalam mengelola dan melestarikan DAS Brantas. ESP memfasilitasi pendekatan partisipatif untuk perencanaan dan pengelolaan Daerah aliran sungai atas, yang mulai pada tingkat masyarakat untuk pengaruh lapangan langsung serta tingkat propinsi dan nasional untuk memastikan kebijakan yang memadai dan bantuan anggaran untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh.
ESP membantu peran serta masyarakat dalam pengelolaan Daerah aliran sungai melalui fasilitasi Sekolah Lapangan. Pendekatan pendidikan dewasa ini menyatukan proses Penilaian Mata Pencaharian berkelanjutan di dalam kerangka kerja ekologi air, dan memungkinkan masyarakat untuk memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap mata pencaharian mereka dan lingkungan di mana mereka tinggal.
Melalui sekolah lapangan lebih dari tiga bulan, peserta belajar bagaimana menerapkan keterampilan dalam rehabilitasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati, air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat, dan perubahan perilaku kesehatan dan kebersihan.
ESP memastikan pengaruh dan keberlanjutan pengelolaan daerah aliran sungai dan kerja pelestarian keanekaragaman hayati melalui pengembangan pembentukan Forum Manajemen Daerah aliran sungai dan Rencana Kerja. Digunakan untuk masalah-masalah khusus, ekologi, budaya dan hubungan kelembagaan masing-masing Daerah aliran sungai, Forum multi-pihak ini memandu pengembangan kebijakan dan pelaksanaan Rencana Kerja. Forum ini menetapkan target-target dan memastikan bantuan anggaran untuk merehabilitasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati dan pengembangan masyarakat.
Dimulai dengan proses perencanaan ruang, ESP bekerja dengan para mitra untuk mengidentifikasi dan memetakan lahan dan daerah krisis yang memiliki nilai pelestarian tinggi di daerah aliran sungai atas. ESP bekerja dengan masyarakat setempat melalui Sekolah Lapangan untuk mengembangkan pemeliharaan tanah, menanam benih dan kemudian penanaman benih-benih di lahan kritis milik sendiri atau di lahan kritis yang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat setempat dan badan-badan lain. ESP juga memberi bantuan teknis kepada Departemen Kehutanan, Perhutani dan berbagai inisiatif penghijauan kembali setempat untuk memastikan keterlibatan masyarakat setempat dan manfaat. Dengan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam Forum Pengelolaan Daerah aliran sungai, perhatian khusus diberikan kepada pembentukan pengaturan kepemilikan lahan secara jelas yang memberi masyarakat insentif untuk berperan serta secara aktif dalam rehabilitasi lahan. (ESP USAID, 2010)
4. Alasan tidak dilakukan sebelumnya
Kegiatan atau program yang dilakukan oleh instansi-instansi tersebut memang dirasa belum pernah dilakukan sebelumnya. Misalnya saja dari PJT I Malang yang telah melakukan Program Pembayaran Jasa Lingkungan dalam upaya pengembangan hubungan hulu hilir bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Pedesaan. Sebelumnya, tidak ada kesadaran dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk peduli terhadap kelestarian DAS yang menyediakan sumber air bagi keberlangsungan proses produksi mereka.
Disamping itu, pendekatan yang dilakukan oleh LSM lingkungan, ESP USAID lebih cenderung diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan pendekatan program yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah yang berisi peraturan-peraturan yang mengekang masyarakat. Pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan cara pendekatan secara cultural dan kreatif sesuai dengan keadaan social, budaya dan topografi masyarakat yang menjadi objek program. Dengan dilakukannya pendekatan secara cultural dan kreatif tersebut membuat program yang dilaksanakan menjadi lebih efektif dan efisien.
5. Aplikasi program solusi
Diantara aplikasi program yang dilakukan oleh ESP USAID adalah usaha hutan rakyat yang dilakukan melalui unit-unit usaha. Satu unit usaha merupakan unit pengelolaan usaha hutan rakyat yang terdiri dari beberapa kelompok tani dengan luas lahan minimal 900 Ha. Usaha hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat yang bertujuan disamping untuk rehabilitasi lahan juga menghasilkan kayu rakyat. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat berupa Pembuatan Hutan Rakyat / Kebun Rakyat, yaitu penanaman lahan kosong dan pekarangan di luar kawasan hutan oleh masyarakat dengan jenis tanaman keras, MPTS (Multi Purpose Trees Spesies), dan buah-buahan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh penutupan lahan yang optimal untuk mengendalikan lahan kritis, menghasilkan kayu bakar, kayu bangunan, untuk keperluan masyarakat lokal, konservasi tanah, memperbaiki iklim mikro dan tata air serta lingkungan. ESP juga melakukan kegiatan reboisasi. Reboisasi adalah upaya pembuatan tanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak berupa lahan kosong / terbuka, alang-alang, atau semak belukar dan hutan rawang untuk mengembalikan fungsi hutan. Disamping resboisasi, sabuk hijau juga menjadi salah satu program ESP USADI. Sabuk Hijau (Green Belt) adalah hutan yang tumbuh pada kawasan sekitar bendungan /waduk / danau pada daratan sepanjang tepian danau / bendungan / waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik bendungan / waduk / danau. Pada kawasan ini tidak diperbolehkan melakukan penebangan pohon dan melakukan pengolahan tanah.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa khususnya penduduk yang tinggal di daerah hulu, ESP USAID juga memberikan program Kebun Bibit Desa, Kebun Bibit Desa adalah unit persemaian yang tidak permanen yang dibuat untuk menyediakan bibit dalam pecan penghijauan di sekitar desa lokasi kegiatan. Kebun Bibit Desa ini dikelola oleh kelompok tani pelaksana penghijauan / pembangunan hutan / kebun rakyat. Untuk 1 (satu) unit Kebun Bibit Desa mempunyai luas 0,25 Ha. Hutan Kota juga menjadi salah satu program ESP, Hutan Kota adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan yang bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh Pejabat yang berwenang.
6. Biaya yang dibutuhkan dan yang menanggung biaya
Dari sejumlah potensi produksi air dari masing-masing pengelola kawasan dapat dihitung berapa besar biaya yang seharusnya diterima sebagai kompensasi atas jasa air yang digunakan oleh para pemanfaat ( PDAM, PLN dan Industri ) dengan mengetahui tarif air / nilai lingkungan. Tarif ini dihitung dengan menggunakan analisa full costing dari seluruh komponen biaya yang dikeluarkan oleh pengelola sumberdaya air (PJT I). Hasil analisa biaya ini dapat diketahui jumlah nilai lingkungan dari para pemanfaat air yang mempunyai nilai pasar/ komersil yaitu sebesar Rp.183.830.000.000 (Nurfatriani, 2006). Selanjutnya untuk mengetahui berapa besar nilai lingkungan komersil ini didistribusikan kepada pengelola kawasan dihitung dengan mengalikan besarnya persentase proporsi potensi produksi air dari masing-masing pengelola dengan nilai lingkungan secara keseluruhan.
PJT I Malang telah melakukan Program Pembayaran Jasa Lingkungan dalam upaya pengembangan hubungan hulu hilir bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Pedesaan.yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama selama 6 bulan (Oktober 2004 s/d Maret 2005) di desa Tlekung Kota Batu seluas 17,5 ha dan desa Bendosari Kec Pujon seluas 8 ha dengan jumlah anggaran sebesar Rp 44 000 000. Tahap kedua selama 3 bulan (Maret s/d Mei 2005) di desa Bendosari dengan luas 16,5 ha dan biaya sebesar Rp 15 790 000. Semua biaya berasal dari PJT I yang diberikan kepada petani yang telah melakukan upaya konservasi sumberdaya air dan tanah didaerah hulu DAS Brantas yang merupakan daerah tangkapan air (catchments areas).
7. Strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat, buat strategi!
Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut :
1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
2. Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).
3. Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para actor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut. Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian) karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari.
Kelembagaan disini adalah LSM Lingkungan yaitu ESP USAID yang ikut menjembatani pemberian sarana dan prasarana dalam mendukung program yang dicanangkan kepada pemerintah dan pihak swasta yang terkait dalam menggunakan dan memanfaatkan sumber daya DAS Brantas. Dengan adanya ESP USAID, pendanaan untuk pembangunan dan pelestarian DAS Brantas dapat diproleh. Alasan penting mengapa ESP sangat berperan penting dalam siklus pengelolaan DAS terpadu adalah dikarenakan pendekatan yang dilakukan oleh LSM lingkungan ini cukup efektif, yaitu dengan menggunakan pendekatan cultural kepada masyarakat dan pendekatan kreatif kepada instansi dan pihak-pihak terkait. Sehingga, nantinya diharapkan semua instansi dari berbagai golongan dapat memberikan kontribusi yang nyata mulai dari Hulu sampai ke hilir bagi kelestarian dan kelangsungan DAS Brantas sebagai sumber kehidupan peradaban manusia seperti halnya sungai Nil.


DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator Sentral”, Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.
Dinas Kehutanan Jatim. Bahan Konsultasi Publik Draft Raperda Pengelolaan Jasa Lingkungan Sumberdaya Hutan. Kerjasama dengan MFP dan DFID, 2006
ESP USAID. 2010. PROGRAM JASA LINGKUNGAN “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati”. Surabaya
Kirsfianti, 2006 Kajian Optimal Luas, Jenis dan Proporsi Vegetasi serta Posisi Hutan Lindung Terhadap Produksi Air di DAS
Nurfatriani F, dkk. 2006. Kajian Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis Hutan Lindung. Laporan Hasil Penelitian. Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Tidak Diterbitkan.

Kamis, 03 Maret 2011

PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG RESPONSIF GENDER

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008). Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gambling tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher.
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor.
Dengan berjalannya waktu dalam proses pembangunan tersebut, peran perempuan juga sangat penting. Secara tradisional perempuan memiliki kemampuan untuk memilih benih yang baik dan memilih lahan yang cocok untuk budidaya, peran perempuan dalam pertanian bukan hanya pada sector budidaya saja, namun juga dapat terlibat dalam produksi ternak dan perikanan, pengumpulan bahan makanan , dan perdagangan hasil pertanian.
Walau peran perempuan di sector pertanian sangat besar, namun secara universal masih berlaku batas-batas sosial dan politik atas laki-laki dan perempuan yang disebabkan berlakunya perbedaan peran gender. Identifikasi perempuan dengan alam dan pemeliharaan kehidupan mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik dan laki-laki mengurus sektor public dan produksi. Akibatnya, meskipun perempuan berperan integral dalam produksi pertanian, namun perannya itu dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat.
Akibat selanjutnya adalah kurangnya kebijakan yang spesifik gender dan lemahnya struktur kelembagaan yang sensitif gender. Sehingga akan membatasi akses perempuan dalam hal sumber daya, lahan, teknologi, kredit, dan sumber pendapatan dari sektor pertanian maupun non pertanian. Dengan tidak diperhitungkannya peran perempuan dalam pembangunan pertanian mengakibatkan aktivitas perempuan terbatasi.
Pengintegrasian gender dalam kebijakan perencanaan pembangunan berarti memastikan bahwa semua pengukuran dan aktivitas secara terbuka dan aktif memperhitungkan akibatnya terhadap masing-masing situasi laki-laki dan perempuan. Penyusunan kebijakan dan perencanaan pembangunan bidang pertanian yang responsive gender berarti harus dilandaskan pada pertimbangan atas perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang disebabkan perbedaan peran gender di sektor pertanian.
Dalam prakeknya, seperti yang dikemukakan oleh Tinker (2000), bahwa teknik pertanian baru atau program-program pembangunan desa yang dilaksanakan dengan sedikit input dari komunitas bisa menghasilkan kegagalan dan bahkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Khusus dengan perbedaan peran gender, selama ini diasumsikan – secara tidak tepat – sebagai penghasil utama pendapatan dalam rumah tangga petani. Artinya, laki-laki yang dianggap memegang kekuasaan tunggal untuk menetukan jenis tanaman apa yang akan ditanam, kapan waktu penanamannya, dan akan dijual kemana produk tersebut. Jika ada program pembangunan pertanian dari pemerintah, dipastikan hanya laki-laki saja yang diberikan kesempatan untuk mempelajari dan mengimplementasikannya, sedangkan perempuan hanya akan menjadi penerima lapis kedua (second receiver). Dalam situasi ini, peran perempuan tidak dapat dimaksimalkan untuk aktif mengerakkan kegiatan pertanian sehingga akan memberikan hasil produksi secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: Bappenas.
Thinker, I. 2000. Alleviating Poverty. Journal of the American Planning Association. Summer, V66, i3, Hal 229-239.

Pengelolaan DAS Brantas yang Berbasiskan Masyarakat di Daerah Hulu sampai Hilir

DAS Brantas merupakan suatu peradaban seperti halnya peradaban yang berada di daerah Sungai Nil. Dengan adanya aliran sungai yang mengalir di 8 wilayah di Jawa Timur ini, berbagai kegiatan dan ekosistem biologis maupun fisik dapat berjalan dengan lancar. Wilayah-wilayah yang dialiri oleh Sungai Brantas diantarnya adalah Batu, Malang, Blitar, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, dan berakhir di Surabaya. Di antara wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah padat penduduk yang kebanyakan penduduknya banyak yang menggantungkan hidupnya dari aliran Sungai Brantas.
Pertumbuhan penduduk semakin lama semakin meningkat, sesuai dengan teori dari Malthus yang mengatakan bahwa populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan menjadikan faktor ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan potensi lingkungan alam, khususnya penyediaan bahan makanan. Banyak sekali lahan-lahan disekitar aliran sungai yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman warga. Sudah banyak ekosistem lingkungan di sekitar sungai yang telah rusak akibat penyalahgunaan fungsi dari Daerah Aliran Sungai itu sendiri, diantaranya adalah pembuangan sampah sembarangan ke aliran sungai oleh masyarakat, pembukaan daerah pertanian di darah hulu sungai, dan pengambilan pasir sungai secara illegal.
Ketidaknormalan fungsi dari DAS yang sehat membuat banyak sekali masalah yang terjadi di masyarakat, mulai dari masalah kesehatan, sosial dan ekonomi. Masalah-masalah yang timbul tersebut telah menjadi masalah yang kompleks dan berdampak besar, sehingga diperlukan suatu penyelesaian masalah yang efektif. Diantarannya adalah dengan adanya kegiatan Organisasi Non Pemerintah yang ikut berperan aktif dalam menyelesaikan masalah tersebut, yaitu ESP USAID.
Salah satu dampak yang terjadi akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai Brantas adalah terjadinya diare pada balita. Penyebab terjadinya diare tersebut adalah karena tercemarnya sumber mata air sebagai sumber mineral yang berasal dari air tanah dan sebagian besar bersumber dari Sungai Brantas. Semakin berkurangnya sumber air besih memaksa berbagai stakeholders untuk bertindak menyelesaikan masalah tersebut. Seperti halnya Tim Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ESP yang bekerja dengan pemerintah, masyarakat, LSM dan mitra-mitra sektor swasta untuk menstabilkan dan meningkatkan pasokan air baku ke pusat-pusat penduduk kota dan pinggir kota di Propinsi Jatim dengan melindungi dan merehabilitasi pasokan air baku dan wilayah bernilai konservasi tinggi di hulu Daerah Aliran Sungai Brantas.
ESP menggunakan pendekatan bentang alam untuk meningkatkan pemeliharaan tanah, menyatukan pelestarian hutan-hutan alam dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, pemulihan dan rehabilitasi hutan-hutan yang telah rusak dan lahan-lahan kritis, dan pengolahan berkelanjutan lahan pertanian. Memperbaiki kondisi-kondisi untuk meningkatkan perlindungan tanah mencakup bantuan kebijakan untuk kepemilikan lahan yang diperlukan untuk pengelolaan hutan yang bertanggung jawab berbasis masyarakat, serta pilihanpilihan pembiayaan untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat hulu daerah aliran sungai untuk kegiatan-kegiatan yang memberikan sumbangsih kepada pelestarian pasokan stabil air baku untuk penduduk di hilir mereka. ESP memfasilitasi pendekatan partisipatif untuk perencanaan dan pengelolaan Daerah aliran sungai atas, yang mulai pada tingkat masyarakat untuk pengaruh lapangan langsung serta tingkat propinsi dan nasional untuk memastikan kebijakan yang memadai dan bantuan anggaran untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh. Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan nantinya kebutuhan air bersih dan keberlangsungan ekosistem DAS Brantas dapat berjalan dengan baik dan seimbang sesuai dengan fungsinya semula.

Permasalahan Lingkungan yang Terjadi di Masyarakat Malinau, Kalimantan Timur dalam Sebuah Rangkuman

Sudah banyak para ahli yang menyatakan berbagai fungsi hutan sebagai salah satu unsur dalam system penyangga kehidupan. Hutan mempunyai fungsi menyerap air melalui proses fotosintesa dan menyimpannya dalam perakaran dalam tanah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang lurus dan nyata antara keberadaan hutan dengan jumlah titik sumber mata air. Berkurangnya hutan diikuti dengan berkurangnya jumlah titik mata air. Vegetasi hutan sangat berperan dalam daur hidrologi sebagai penahan air sebelum mencapai permukaan tanah untuk kemudian diserap dalam proses infiltrasi. Dengan demikian keberadaan hutan sangat krusial dalam satu siklus hidrologi yang tergambar dalam kondisi tata air di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS).
Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Seperti halnya kelestarian hutan dan alam yang berada di Hutan Malinau Kalimantan Timur masih sangat terjaga. Penduduk dari Desa Gong Solok yang tinggal di dekat Daerah Aliran Sungai Malinau sangat menjaga kelestarian hutan mereka.
Semua sumber kehidupan yang mereka butuhkan berasal dari hutan tersebut. seperti halnya kayu gaharu untuk membangun rumah, rotan sebagai bahan baku kerajinan yang bisa dijual, hewan sebagai buruan, dan berbagai flora dan fauna lainnya yang biasa mereka manfaatkan. Hutan bukan hanya menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat Malinau namun juga sebagai teman yang akan menjaga mereka hingga anak cucu mereka kelak. Kebudayaan yang turun temurun tersebut telah diajarkan oleh nenek moyang mereka. Hampir semua jenis tanaman dan fungsinya mereka tahu meskipun kebanyakan dari mereka jarang yang mendapatkan kesempatan untuk mengakses pendidikan.
Bahkan banyak sekali peneliti-peneliti yang pergi kesana untuk meneliti hutan adat, pola mata pencaharian, kelembagaan adat, pengetahuan pengobatan tradisionil dan lain-lain. Untuk mencapai desa tersebut, seseorang harus melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu kayu kecil yang bermotor yang disebut dengan ketinting. Lama perjalanannya bisa mencapai 2 jam dari pusat Kota Malinau.
Kebanyakan dari penduduk di Hutan Malinau adalah bermatapencaharian sebagai petani atau berburu. Meskipun mata pencaharian yang mereka lakukan terkesan masih primitive namun kehidupan yang berlangsung di masyarakat tersebut dapat berjalan dengan baik. Semua kebaikan tersebut tidak dapat berlangsung lama setelah banyak sekali investor-investor kayu seperti dari Pabrik Plywood yang ikut campur dalam urusan kewenangan Hak Penguasaan Hutan mereka. Setelah seorang investor dapat masuk ke dalamnya maka investor-investor lain pun telah tidak sabar untuk berjalan di belakangnya. Tidak sedikit investor yang bersikap irresponsible dan careless environmentally, sehingga banyak sekali factor kerusakan lingkungan yang diabaikan. Dengan banyaknya campur tangan dari pihak lain terhadap hutan yang mereka jaga selama ini membuat hutan mereka menjadi rusak. Banyak sekali terjadi penebangan hutan secara legal maupun illegal, ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah mengenai pembukaan lahan untuk lahan perkebunan kelapa sawit yang telah membabat habis Hutan Malinau. Selain itu, dampak lain yang disebabkan oleh kemunculan para investor adalah hilangnya SDA masyarakat Malinau sebagai sumber pendapatan dan kehidupan sehari-hari mereka.
Kerusakan di Hutan Malinau semakin diperparah oleh sebagian warga masyarakat yang setuju dengan existing dari para Investor tersebut. Hutan adalah sumber kehidupan kita di masa sekarang dan akan datang. Serta teman yang selalu menjaga kita dari bahaya alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi, seperti global warming dan berbagai dampaknya yang telah mulai kita rasakan saat ini. Sehingga jika bukan mulai dari sekarang kita sendiri yang menjaga dan merawat hutan lantas siapakah yang akan melindungi dan mengayomi kita kelak di kemudian hari.