Kamis, 03 Maret 2011

PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG RESPONSIF GENDER

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008). Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gambling tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher.
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor.
Dengan berjalannya waktu dalam proses pembangunan tersebut, peran perempuan juga sangat penting. Secara tradisional perempuan memiliki kemampuan untuk memilih benih yang baik dan memilih lahan yang cocok untuk budidaya, peran perempuan dalam pertanian bukan hanya pada sector budidaya saja, namun juga dapat terlibat dalam produksi ternak dan perikanan, pengumpulan bahan makanan , dan perdagangan hasil pertanian.
Walau peran perempuan di sector pertanian sangat besar, namun secara universal masih berlaku batas-batas sosial dan politik atas laki-laki dan perempuan yang disebabkan berlakunya perbedaan peran gender. Identifikasi perempuan dengan alam dan pemeliharaan kehidupan mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik dan laki-laki mengurus sektor public dan produksi. Akibatnya, meskipun perempuan berperan integral dalam produksi pertanian, namun perannya itu dianggap sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat.
Akibat selanjutnya adalah kurangnya kebijakan yang spesifik gender dan lemahnya struktur kelembagaan yang sensitif gender. Sehingga akan membatasi akses perempuan dalam hal sumber daya, lahan, teknologi, kredit, dan sumber pendapatan dari sektor pertanian maupun non pertanian. Dengan tidak diperhitungkannya peran perempuan dalam pembangunan pertanian mengakibatkan aktivitas perempuan terbatasi.
Pengintegrasian gender dalam kebijakan perencanaan pembangunan berarti memastikan bahwa semua pengukuran dan aktivitas secara terbuka dan aktif memperhitungkan akibatnya terhadap masing-masing situasi laki-laki dan perempuan. Penyusunan kebijakan dan perencanaan pembangunan bidang pertanian yang responsive gender berarti harus dilandaskan pada pertimbangan atas perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang disebabkan perbedaan peran gender di sektor pertanian.
Dalam prakeknya, seperti yang dikemukakan oleh Tinker (2000), bahwa teknik pertanian baru atau program-program pembangunan desa yang dilaksanakan dengan sedikit input dari komunitas bisa menghasilkan kegagalan dan bahkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Khusus dengan perbedaan peran gender, selama ini diasumsikan – secara tidak tepat – sebagai penghasil utama pendapatan dalam rumah tangga petani. Artinya, laki-laki yang dianggap memegang kekuasaan tunggal untuk menetukan jenis tanaman apa yang akan ditanam, kapan waktu penanamannya, dan akan dijual kemana produk tersebut. Jika ada program pembangunan pertanian dari pemerintah, dipastikan hanya laki-laki saja yang diberikan kesempatan untuk mempelajari dan mengimplementasikannya, sedangkan perempuan hanya akan menjadi penerima lapis kedua (second receiver). Dalam situasi ini, peran perempuan tidak dapat dimaksimalkan untuk aktif mengerakkan kegiatan pertanian sehingga akan memberikan hasil produksi secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: Bappenas.
Thinker, I. 2000. Alleviating Poverty. Journal of the American Planning Association. Summer, V66, i3, Hal 229-239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar